BAB I
PENDAHULUAN
Umat islam telah bersepakat bahwasanya
apa yang disandarkan kepada Rasul baik itu perbuatan, perkataan, atau ketetapan
adalah semuanya merupakan perihal yang dijadikan Syariat dan sampai kepada kita
dengan sanad yang shahih menjadi suatu dalil baik umat islam dan merupakan
sandaran hukum syariat yang darinya diambil hukum-hukum syariat.
Sunnah menurut bahasa: ialah jalan yang
dilalui sama ada terpuji atau tidak; juga suatu adat yang telah dibiasakan
walaupun tidak baik. Rasul SAW bersabda:
"Sungguh kamu akan mengikuti
sunnah-sunnah (perjalanan-perjalanan) orang yang sebelum kamu sejengkal demi
sejengkal, sehasta demi sehasta sehingga sekiranya mereka memasuki lubang dab
(serupa binatang biawak) nescaya kamu memasukinya juga." (Hadith riwayat
Muslim)
"Barangsiapa menjalani suatu
sunnah (perjalanan) yang baik, maka baginya pahala sunnah itu dan pahala yang
mengerjakan dengannya hingga hari qiamat, dan barangsiapa mengadakan suatu
sunnah (perjalanan) yang jahat (buruk) maka atasnya dosanya dan dosa orang yang
mengerjakan dengannya hingga hari qiamat." (Hadith riwayat Bukhari &
Muslim).
Jelaslah bahawa menurut hadith
tersebut, perkataan sunnah itu diertikan dengan perjalanan, sama ada baik atau
pun yang jahat, sebagaimana yang dimaksudkan oleh bahasa.
Sunnah menurut istilah ahli hadith:
ialah segala yang dipindahkan dari nabi sallallahu 'alayhi wa sallam baik yang
merupakan perkataan, perbuatan, mahupun yang merupakan taqrir, sebelum nabi
dibangkitkan menjadi rasul, mahupun sesudahnya. Kebanyakan ahli hadith
menetapkan bahawa pengertian yang demikian sama dengan pengertian hadith.
Sunnah menurut pengertian dan istilah
ahli usul: ialah segala yang dipindahkan dari nabi sallallahu 'alayhi wa sallam
sama ada perkataannya dan perbuatannya, mahupun taqrirnya yang bersangkutan
dengan hukum. Inilah pengertian yang dimaksudkan oleh sabdanya ini:
"Sesungguhnya aku telah tinggalkan
pada kamu dua perkara tidak akan kamu sesat selama kamu berpegang dengan
keduanya: iaitu Kitab Allah dan Sunnah Rasulnya". (Hadith riwayat Malik).
BAB II
PEMBAHASAN
A.
PENGERTIAN SUNAH DAN KEDUDUKAN SUNAH
Sunah Nabi adalah pokok kedua dalam
dasar dasar syariat dan kedudukanyapun setelah Al-Qur’an dan mengikutinya
adalah wajib sebagaimana mengikuti Al-Qur’an. Adapun hal tersebut diperkuatkan
oleh ayat Al-Qur’an yang mana Allah memerintahkan supaya mengikuti Rasulnya
serta mentaatinya.
وما
أ نا
كم الر
سو ل
فحذو ه
و ما
نها كم
عنه فا
نتهوا
Dan apa yang telah Rasul berikan
kepadamu maka ambilah dan apa yang beliau larang maka cegahlah
يا
أ يها
الَذ ين
أ منوا
أطيعو الله
و أطيعو
االرَسول
Hai orang-orang beriman taatilah Allah
dan taatilah Rasul.
Ayat diatas menunjukkan kemutlakan guna
mengikuti Rasul dengan apa yang telah disyariatkan oleh beliau dan
sesungguhnaya sunnah adalah merupakan syariatnya hukum islam.
Perbuatan para sahabat, bahwasanya para
sahabat dalam kehidupan mereka adalah mencontoh kehidupan Rasul dengan
perintah-perintahnya dan larangan-larangannya. Dan mereka tidak membedakan
antara hukum yang telah diwahyukan oleh Allah dalam Al-Qur’an dan hukum yang
bersumbar dari Rasul. Dan juga dalam kehidupan mereka setelah wafatnya Rasul,
mereka berpegang kepada Al-Qur’an dan hukum-hukum didalamnya dan jika mereka
tidak menemukannya dalam Al-Qur’an mereka mengembalikannya kepada sunah Rasul
SAW.
Menjelaskan secara terperinci hal-hal
ibadah yang tertulis didalam Al-Qur’an yang bersifat Mujmal. Allah mewajibkan
sesuatu kepada manusia namun tidak menjelaskannya didalam Al-Qur’an, tatacara
dan perintah tersebut seperti dalam perintah shalat, zakat, puasa serta haji.
-و ا قيمو اا لصَلا ة وا لتواالزكا ة٬
-يا أيها
لذ ين
أمنوا كزتب
عليكم الصَيام٬
-و الله
على الناسى
حج ا
لبيت.
Namun Rasul menjelaskan hal-hal
tersebut dengan sunah-sunahnya baik perkataan maupun perbuatan sehingga Allah
berfirman
وأنز لنا
اليك ا
لذ كى
لتبين النا
سى ما
نز ل
إليهم.
Apakah sunah-sunah yang menjelaskan
tersebut tidak bisa dijadikan sebagai hujah bagi orang muslim yang wajib
diikuti, jadi tidak mungkin seseorang yang mengikuti perintah-perintah
Al-Qur’an tidak mengikuti hukum-hukum yang ada didalamnya.
Dengan hal ini sudah tentu bahwasanya
apa yang benar-benar dari sunah Rasul yang sifatnya syari’at adalah menjadi
dalil dan mengikutinya adalah wajib, dan apabila kewajiban mengikuti Rasul
adalah wajib maka wajib pula mengikutinya dalam semua hukum yang dibenarkan
darinya, dan itu sama dengan mengikuti hukum dalam Al-Qur’an karena itu adalah
sumber hukum yang terjaga .
B.
SUNAH DALAM LINTASAN SEJARAH
Sejak resmi diangkat menjadi Nabi dan
utusan Allah pada tahun 610 H yaitu dengan mulai menerima wahyu Al-Qur’an,
menjadi kewajiban Muhammad menyampaikan apa yang diterimanya tersebut kepada
umatnya (QS. An Nahl 44) dan (Al-Maidah 68). Pada saat itulah tahapan dakwah
dimulai , karena adanya perintah Tabligh dan dengan begitu dimulai fase pertama
terjadinya hadis . Permulaan terjadinya hadis adalah seiring bersamaan dengan
turunnya wahyu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa usia hadis adalah seusia
Al-Qur’an sendiri.
Penyampaian hadis oleh Nabi pada
awalnya berjalan apa adanya dan alamiah, sesuai dengan tugasnya dengan audiens
sahabat sebagai penerimanya, tanpa melalui syarat-syarat yang ketat atau dengan
menggunakan kata-kata penyampai yang rumit, kecuali bahwa sahabat mendengar dan
melihat ucapan dan praktek Nabi baik secara langsung maupun tidak. Hal ini bisa
dimengerti karena Nabi adalah figure sentral yang menjadi rujukan para
sahabatnya dalam segala permasalahan hidup yang melingkupi dan dihadapinya.
Karena berbagai factor dan seiring
dengan semakin menyebarnya sahabat, kesempaan mereka untuk menimba ilmu dan
mengikuti Nabi antar mereka tidak sama. Hal ini menjadikan pengetahuan para
sahabat mengenai hadis Nabi tidak sama. Di antara mereka ada yang banyak
menerima hadis dan meriwayatkan hadis dan ada pula yang sedikit. Semua
tergantung pada kesibukan dan profesi mereka yang mendorong mereka untuk tetap
eksis. Melihat fenomena ini, Nabi mendorong sahabatnya yang hadir dalam
majlisnya untuk menyampaikan kembali pada sahabat lain yang tidak hadir
Nabi sebagai bagian dari masyarakat
yang melakukan aktivitas sebagaimana lazimnya masyarakat pada umumnya,
sebenarnya tidak memiliki tempat kusus untuk menyampaikan hadis atau
mempraktekkan sunnah. Nabi tidak mempunyai madrasah atau pondok khusus. Di
manapun Nabi berada dan memiliki kesempatan, beliau bisa menyampaikan hadisnya,
baik dalam suasana perang, dalam bepergian, dirumah atau dimasjid. Meski
demikian kegiatan tersebut lebih sering disampaikan dimasjid dengan diikuti
oleh banyak sahabat .
Nabi menyampaikan hadisnya dengan tiga
cara: secar verbal, tertulis dan demonstrasi secara praktis . Penyampaian
verbal adalah hal pertama yang dilakukan Nabi. Ini karena Nabi adalah seorang
penyampai (Muballigh). Peyampaian hadis dengan cara tersebut adakalanya
didahului oleh sebuah peristiwa, seperti pertanyaan oleh sahabat, dan
adakalanya tanpa melalui pertayaan seperti itu. Sedangkan yang dilakukan secara
tertulis adalah dakwah Nabi yang dilakukan secara terang-terangan. Tulisan
tersebut berupa ajakan Nabi kepada pemimpin-pemimpin Negara tetangga untuk
ber-islam. Penyampaian hadis secara demonstrative adalah perilaku Nabi untuk
menjelaskan hal-hal yang sifatnya praktis, seperti shalat, wudlu, tayamum dan
lain-lain.
Seiring dengan perjalanan dakwah Rosul
dengan segala peristiwa dan kejadian yang melingkupunya dan tersebarnya sahabat
keberbagai daerah, mejadikan hadis ikut tersebar. Namun demikian pada masa
tersebut relative belum ada persoalan mengenai hadis. Kalaupun ada persoalan
mereka segera menanyakan kepada Nabi. Pada kurun tersebut hadis masih tetap
dalam keutuhan dan keshahihannya. Karena itu penyelidikan ilmu hadis tidak
sampai mempertanyakan otentisitas hadis pada tahapan tersebut. Hal ini karena
pada zaman Nabi, selain tidak ada bukti yang pasti tentang telah terjadinya pemalsuan
Hadis, juga karena pada masa tersebut seseorang akan lebih mudah melakukan
pemeriksaan sekiranya ada hadis yang diragukan kesahihannya.
Karena
kebijakan Nabi yang lebih mengutamakan Al-Qur’an, menyebabkan hadis terlambat
untuk ditulis secara massal. Penulisan Hadis pada zaman Nabi lebih merupakan
kegiatan pribadi. Oleh karena itu naskah-naskah hadis sangat sedikit jumlahnya
. Naskah-naskah itu sendiri ada yang diberi nama atau tidak.
Ada
beberapa alasan kenapa gerakan penulisan hadis tidak terjadi pada masa Rasul,
yakni:
• Agar
perhatian sahabat terhadap Al-Qur’an tidak terbagi
•
Untuk menjaga keotentikan Al-Qur’an
•
Al-Qur’an merupakan prioritas utama yang disampaikan Nabi, sedang hadi hanya
merupakan “side effect” dari tugas utama tersebut . Ketiadaan gerakan peulisan
hadis tersebut hamper mirip atau malah sama dengan pelarangan ziarah kubur pada
masa awal islam..
C. PENYUSUNAN SUNNAH
Yang
dimaksut dengan menyusun As Sunnah adalah mengumpulkan As Sunnah yang sejenis
dalam satu judul, sebagiannya dikumpulkan dengan sebagian yang lain, seperti
hadis tentang shalat, puasa dan lain sebagainya. Pemikiran ini timbul diseluruh
Negara-negara islam dalam waktu yang berdekatan sehinggga tidak diketahui orang
yang memperoleh keutamaan dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu.
Termasuk
orang yang membukukan pada tahap pertama dalam periode ini adalah Imam Malik
bin Anas di Madinah, Abdul Malik bin Abdul Azis bi juraij di Makkah, sufyan bin
Tsauri di Kufah, Hamad bin Salmah dan Sa’id bin Arubah di Bashrah., Hasyim bin
Basyir di Wasith, Abdurrahman Al Auza’I di syam, Ma’mar bin Rasyid di Yaman,
Abdullah bin Mubarak di Khurasan, dan Jarir bin Abdul Hamid di Ray. Hal ini
terjadi pada tahun 140 H lebih sdikit. Pada kitab-kitab itu hadis masih
bercampur dengan kata-kata shahabat dan tabi’in sebagaiman kita lihat dalam
kitab Al Muwatha’ susunan Imam Malik rahimahullah.
Pada
tahap kedua hadis Rasulullah mulai dipisahkan dari kata-kata orang lain, yaitu
pada permulaan tahun 200H. Mereka mengarang kitab yang dikenal dengan musnad,
seperti musnad Abdullah bin Musa Al- Kufi, Musnad musaddad bin Masrahad Al
Bashri, Musnad Asad bin Musa Al Mishri, Musnad Na’im bin hamad Al Kaza’I,
Musnad Ishak bin Rahawaih. Musnad Usman bin Abi Saibah dan Musnad Ahmad bin
Hambal. Mereka meletakkan hadist pad musnad-musnad perawinya. Mereka sebut
Musnad Abu BAkar, Suatu buku yang didalamnya berisikan Hadist yang diriwayatkan
dari padanya. Sesudah itu mereka menyebutkan sahabat satu persatu menurut cara
ini.
Sesudah
tahapan ini datang tahapan lain yang dihadapannnya terlihat perbendaharaan
besar makanya terbuka pintu pemilihan Hadist.
Tahap
ini, dua imam besar tokoh As Sunnah yaitu Abu Abdillah Muhammad bin Isma’il Al
Bukhari Al Ja’fi yang meninggal pada tahun 256 H, dan Muslim bin Hajjaj An-
Naisaburi yang meninggal pada 261 H, menyusun dua kitab Shahihnya, setelah
cermat dalam meriwayatkan dan memilihnya. Dua kitab Shahih itu adalah puncak
pembukuan hadits. Jalan dua tokoh itu ditempuh juga Abu Dawud Sulaiman bin Al
A’yasy As Sijistani yang meninggal tahun 279 H, Abu Isa Muhammad bin Isa Al
Salmi At turmudzi yang meninggal pada tahun 279 H, Abu Abdillah Muhammad bin
Yazid Al Qazwini yang terkenal dengan ibnu Majah yang meninggal pad atahun 273
H, dan Abu Abdurrahman Ahmad bin Syu’aib An Nasa’I yang meninggal pada tahun
303 H. Kitab-kitab mereka menurut lisan ahli hadits terkenal dengan kutubus
sittah (kitab hadits yang enam). Dikalanga kaum muslimin kitab itu memperoleh
derajat yang tinggi karena para perawinya dpat dipercaya apalagi Bukhari dan
Muslim. Bukan meereka saja orang-orang yang menyusun sunnah, namun banyak orang
lain disamping mereka, hanya saja enam orang itulah yang memperoleh kemasyuran
yang tidak diperoleh oleh selain mereka .
Diantara
tokoh-tokoh pada periode ini ada yang membahas tentang keadaan perawi hadits
dari tabi’in dan orang-orang sesudah mereka. Masing-masing perawi disifati
dengan sifat yang ada pada diri mereka yakni kuat ingatan, kerapian dan
keadilannya, atau sifat-sifat kebalikannya. Para pembahas itu dikenal sebagai
tokoh-tokoh Al-jarh wat ta’dil (mencacatkan dan mengadilakn perawi). Siapa yang
dianggap cacat maka hadistnya ditinggalkan.
Persoalan
As Sunnah berakhir pada pertengahan periode keempat dan As Sunnah sudah berdiri
menjadi ilmu yang berdiri sendiri dengan tokoh-tokoh khusus yang membahasnya.
D. PENGARUH SUNNAH TERHADAP TASYRI’
Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa sunnah merupakan sumber islam kedua bagi ilmu
fiqh dan syariat setelah Al-qur’an. Oleh karena itu, memandang sunnah sebagai sumber
dalil bagi hukum-hukum syariat merupakan suatu pembahasan yang baik dan
menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fikih dan semua mazhab
fiqih.
Dalam
hal ini, Imam Auza’I wafat pada 157 H, mengatakan bahwa Al;qur’an lebih
membutuhkan sunnah dari pada sunnah terhadap Al-qur’an. Hal itu karena sunnah
berfungsi menjelaskan makna dan merinci keutamaan Al-qur’an. Berdasarkan
kenyataan ini, sebagian ulama mengatakan bahwa sunnahlah yang memegang
keputusan terhadap Al Kitab. Dengan kata lain fungsi sunnah adalah menjelaskan
makna yang dimaksut Al-qur’an.
Akan
tetapi Imam Ahmad masih kurang puas dengan ungkapan ini, tapi tidak berani
mengatakan demikian dan hanya mengatakan bahwa sunnah itu menjelaskan makna
Al-qur’an. Pendapat ini cukup adil, yaitu memandang sunnah sebagai penjelas
Al-qur’an dan disisi lain subjek yang dikemukakan sunnah meliputi Al-qur’an dan
tidak pernah keluar atau menyimpang darinya.
Status
sunnah sebagai sumber hokum bagi pen-tasyri’-an (perintah) dalam masalah ibadah
dan muamalah, individu, keluarga, mayarakat dan Negara tidak diperselisihkan
lagi. Imam Syaukani mengatakan bahwa ketetapan status sunnah hujjah dan
kemandiriannya dalam merealisasikan hokum syariat dan sunnah sebagai keharusan
agama, tidak ditentang oleh seorangpun, selain oleh orang yang mempunyai
pemahaman dangkal terhadap agama islam.
Seseorang
yang membaca kitab fikih islam dan mazhab apapun, akan banyak menemukan dalil
sunnah, baik berupa ucapan, perbuatan, maupun ketetapan. Dalam hal ini
orang-orang atau kalangan yang dikenal dalam tarikh fikih dengan sebutan
golongan ahli hadis dan yang dikenal dengan sebutan ahli ra’yu sama saja.
Prinsip pokoknya dapat diterima oleh kedua kalangan tersebut.. perbedaan
pendapat hanya ada dalam perincian dan penerapannya sebagai konsekuensi
perbedaan mereka dalam mensyaratkan hadis yang dapat diterima dan
pengamalannya. Dengan demikian, orang yang membaca kitab mazhab Hanafi (aliran
nasionalis) akan menemukan banyak hadis yang dijadikan sandaran hokum oleh
guru-guru mereka.
Sebagian
orang yang fanatic dan tidak objektif mengatakan bahwa di antara mereka ada
orang yang wawasannya kurang dalam meriwayatkan hadist karena kurangnya
perhatian terhadap bidang ini. Padahal tuduhan itu tidak pantas dilancarkan
terhadap imam besar karena sesungguhnya syariat islam hanya dapat disimpulkan
dari Al-quran dan sunnah. Orang yang sedikit memiliki perbendaharaan hadist,
diharuskan menuntut dan meriwayatkannya, serta bersungguh-sungguh menekuni
bidang ini supaya dia dapat menyimpulkan hukum-hukum agama dari sumber-sumber
yang benar dan menerimanya dari Nabi yang ditugaskan oleh Allah untuk
menyampaikannya.
Agar
sunnah dapat dijadikan rujukan dalam hokum tasyri’, terlebih lagi kita harus
menelitinya dengan pembuktian yang sumber-sumbernya dari Nabi. Kriteria ini
menurut peristilahan ilmu mushthalah hadis-agar hadis dapat dijadikan dalil_
hendaklah hadist itu berpredikat shahih atau hasan. Predikat shahih menurut
yudisium yang diberikan oleh universitas, berarti istimewa dan baik sekali, sedangkan
predikat hasan berartti baik atau sedang. Oleh karena itu dpat dikatakan bahwa
predikat hasan yang tinggi lebih mendekati predikat shahih, sebagaimana
predikat hasan yang rendah, lebih dekat dengan criteria dhaif .
Kita
dapat menyimpulkan dengan pasti bahwa semua ahli fikih kaum mislimin dari
berbagai aliran dan mazhabnya dikota-kota besar, baik dari kalangan yang
mazhabnya masih ada maupun yang sudah pudar, baik dari kalangan orang-orang
yang diikuti maupun bukan, berpendapat bahwa sunnah merupakan pegangan dan
sumber hokum mereka dalam menetapkan hokum-hukum fikih, yaitu apabila dalam
sunnah tersebut terdapat suatu penjelasan yang menerangkan hokum agama Allah.
Mereka sama sekali tidak mau menentang perintah yng diisyaratkan oleh sunnah.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat antara orang yang berasal dari alira
ra’yu ataupun aliran hadist.
BAB III
KESIMPULAN
Sunah Nabi adalah pokok kedua dalam
dasar dasar syariat dan kedudukanyapun setelah Al-Qur’an dan mengikutinya
adalah wajib sebagaimana mengikuti Al-Qur’an. Adapun hal tersebut diperkuatkan
oleh ayat Al-Qur’an yang mana Allah memerintahkan supaya mengikuti Rasulnya
serta mentaatinya
Sejak resmi diangkat menjadi Nabi dan
utusan Allah pada tahun 610 H yaitu dengan mulai menerima wahyu Al-Qur’an,
menjadi kewajiban Muhammad menyampaikan apa yang diterimanya tersebut kepada
umatnya (QS. An Nahl 44) dan (Al-Maidah 68). Pada saat itulah tahapan dakwah
dimulai , karena adanya perintah Tabligh dan dengan begitu dimulai fase pertama
terjadinya hadis . Permulaan terjadinya hadis adalah seiring bersamaan dengan
turunnya wahyu. Secara singkat dapat dikatakan bahwa usia hadis adalah seusia
Al-Qur’an sendiri.
Yang
dimaksut dengan menyusun As Sunnah adalah mengumpulkan As Sunnah yang sejenis
dalam satu judul, sebagiannya dikumpulkan dengan sebagian yang lain, seperti
hadis tentang shalat, puasa dan lain sebagainya. Pemikiran ini timbul diseluruh
Negara-negara islam dalam waktu yang berdekatan sehinggga tidak diketahui orang
yang memperoleh keutamaan dikarenakan lebih dahulu dalam penyusunan itu.
Sebagaimana
yang telah kita ketahui bahwa sunnah merupakan sumber islam kedua bagi ilmu
fiqh dan syariat setelah Al-qur’an. Oleh karena itu, memandang sunnah sebagai
sumber dalil bagi hukum-hukum syariat merupakan suatu pembahasan yang baik dan
menciptakan wawasan luas yang mewarnai semua kitab ushul fikih dan semua mazhab
fiqih.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar