BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar
Belakang
Guru adalah subjek paling penting dalam keberlangsungan
pendidikan. Tanpa guru, sulit dibayangkan bagaimana pendidikan dapat berjalan.
Bahkan meskipun ada teori yang mengatakan bahwa keberadaan orang/manusia
sebagai guru akan berpotensi menghambat perkembangan peserta didik, tetapi
keberadaan orang sebagai guru tetap tidak mungkin dinafikan sama sekali dari
proses pendidikan.
Realitasnya,
pendidikan tidak bisa dilepaskan dari peran guru. Secara umum, guru bisa siapa
saja. Justru guru yang pertama kali dijumpai oleh setiap orang adalah
orang-tuanya sendiri. Baru kemudian, guru
pada pendidikan formal. Di tengah masyarakat, pimpinan masyarakat juga
dapat berfungsi sebagai pendidik untuk masyarakatnya. Dalam pengertian yang
luas seperti ini, maka siapa saja yang melakukan pekerjaan berupa proses
transper pengetahuan dan internalisasi nilai kepada peserta didik, maka dapat
disebut sebagai guru.
Makalah ini akan
menyoroti unsur guru (pendidik) dalam perspektif Al-Hadits. Namun, untuk
menyajikan pembahasan yang utuh, maka penulis akan menjelaskan beberapa poin
penting yang sepatutnya dimiliki dalam diri seorang guru (pendidik) yang akan
di bahas dalam bab berikut ini.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Guru sebagai ulama pewaris Nabi dan
pennganti Nabi
Dalam syairnya,
Ahmad Syauqi sebagaimana dikutip oleh Muhammad Munir Mursi mengatakan bahwa
pada diri guru ada kemuliaan. Hampir saja guru itu mendekati kerasulan.
Secara institusional, guru memegang peranan
yang cukup penting, baik dalam perencanaan maupun pelaksanaan kurikulum. Guru
adalah perencana, pelaksana dan pengembang kurikulum bagi kelasnya. Dengan
demikian, guru juga berperan melakukan evaluasi dan penyempurnaan kurikulum.
Dalam Islam, istilah pendidik disebut
dengan beberapa istilah seperti muaddib,
murabbi dan mu’allim. Walaupun ketiga istilah itu masih terbedakan karena
masing-masing memiliki konotasi dan penekanan makna yang agak berbeda, namun
dalam sejarah pendidikan Islam ketiganya selalu digunakan secara bergantian. Pertanyaan yang menggelitik kemudian, siapakah
pendidik itu?
Dalam sebuah hadis tersebut bahwa Nabi
bersabda:
أدبنى ربى فأحسن تأديبى
“Tuhanku
telah mendidikku, maka menjadi baiklah pendidikanku”.
Dalam penggalan hadis ini, maka nyatalah
bahwa Allah SWT adalah Pendidik Agung bagi para Nabi dan seluruh alam semesta.
Dja’far Siddik mengatakan, “Dialah Muaddib Agung, dan Dia pulalah Murabbi Agung
yang telah mendidik para Nabi dan Rasul-Nya. Dia juga Mu’allim Agung yang telah
membelajarkan Adam as, nenek moyang umat manusia tentang segala sesuatu.”
Dalam penggalan hadis ini, maka nyatalah
bahwa Allah SWT adalah Pendidik Agung bagi para Nabi dan seluruh alam semesta.
Dja’far Siddik mengatakan, “Dialah Muaddib Agung, dan Dia pulalah Murabbi Agung
yang telah mendidik para Nabi dan Rasul-Nya. Dia juga Mu’allim Agung yang telah
membelajarkan Adam as, nenek moyang umat manusia tentang segala sesuatu.”
Berdasarkan penjelasan di atas, maka Allah
pulalah sesungguhnya pendidik agung manusia. Hanya saja dalam operasionalnya,
Allah Swt tidaklah berinteraksi secara langsung dengan manusia. Dia mengutus
para Rasul untuk mendidik manusia ke jalan yang diridai-Nya. Dengan demikian,
para Rasul pulalah yang mengambil peranan sebagai pendidik bagi umat manusia.
Dalam unit kehidupan sosial terkecil yakni
keluarga, orang tua menjadi pendidik utama bagi anak dan keluarganya. Dalam
surat at-Tahrim/66 ayat 6 Allah SWT mewajibkan setiap orang untuk mendidik dan
memelihara diri pribadinya dan sekaligus membimbing keluarganya agar tidak
tergelincir ke dalam api neraka.
Dalam kehidupan sosial yang lebih luas,
yang berperan sebagai pendidik adalah terutama para ‘ulama dan ahl al-zikr. Namun dalam konteks pendidikan yang lebih luas, maka
pada diri setiap orang sesungguhnya melekat kewajiban untuk mendidik. Hanya
saja ulama dan ahl
zikir secara khusus diberi amanah
sebagai pendidik.
Nabi Saw bersabda:
العلماء
ورثة الانبياء
Ulama adalah pewaris para Nabi.
Berdasarkan penekanan khusus kepada para
ulama dan ahl
al-zikr tersebut, maka tidak
mengherankan jika para pakar pendidikan Islam menetapkan syarat-syarat yang
cukup ketat sebagai kriteria yang seyogianya dimiliki oleh pendidik. Criteria
dimaksud seperti khasyyah, istiqamah, sabar, berilmu, cerdas dan terampil, penyantun, dan
berbagai sifat terpuji lainnya yang menunjukkan kemuliaan dan beratnya beban
tugas seorang pendidik.
Selain itu, para ahli didik Muslim
merumuskan berbagai pedoman lain yang menyangkut dengan sifat, sikap dan perbuatan
yang harus dimiliki dan dilakukan oleh seorang pendidik Muslim. An-Nahlawi
misalnya mengemukakan sepuluh pedoman pokok pendidik Muslim, yaitu:
a. Mempunyai watak dan sifat rabbaniyah yang terwujud dalam tujuan, tingkah laku, dan pola
pikirnya.
b.
Bersifat ikhlas, yakni sebagai orang berilmu dan profesi pendidik, ia hanya
mencari keridaan Allah dan menegakkan kebenaran.
c.
Bersifat sabar dalam mengajarkan berbagai pengetahuan.
d.
Jujur dalam menyampaikan apa yang diketahuinya.
e.
Senantiasa membekali diri dengan ilmu dan kesediaan diri untuk terus
mengkajinya.
f.
Mampu menggunakan metode mengajar secara bervariasi yang sesuai dengan
prinsip-prinsip penggunaan metode.
g.
Mampu mengelola kelas dan peserta didik, tegas dalam bertindak dan
professional.
h.
Mengetahui kehidupan psikis peserta didik.
i. Tanggap
terhadap berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang mempengaruhi jiwa,
keyakinan dan pola pikir peserta didik.
j.
Bersikap adil terhadap para pelajar.
Dalam pelaksanaan tugas keguruan terutama
dalam pembelajaran, menurut Mulyasa, guru harus kreatif, professional, dan
menyenangkan dengan memposisikan diri sebagai berikut:
1.
Orang tua yang penuh kasih sayang pada peserta didiknya.
2.
Teman, tempat mengadu, dan mengutarakan perasaan bagi para peserta didik.
3.
Fasilitator yang selalu siap memberikan kemudahan, dan melayani peserta didik
sesuai minat, kemampuan dan bakatnya.
4.
Memberikan sumbangan pemikiran kepada orang tua untuk dapat mengetahui
permasalahan yang dihadapi anak dan memberikan saran pemecahannya.
5.
Memupuk rasa percaya diri, berani dan bertanggung jawab.
6.
Membiaskan peserta didik untuk saling berhubungan (bersilaturrahmi) dengan
orang lain secara wajar.
7.
Mengembangkan proses sosialisasi yang wajar antarpeserta didik, orang lain dan
lingkungannya.
8.
Mengembangkan kreativitas.
9.
Menjadi pembantu ketika diperlukan.
2.1.1
Ayat-ayat al-Quran yang memiliki kosa kata yang mengandung makna guru (pendidik).
Ayat-ayat ini akan penulis susun secara
kronologis dengan memperhatikan nomor surat, begitu juga aspek makkiyah dan madaniyah. Kronologi ini disusun berdasarkan mushaf Usmani.
Lebih ringkas
ayat-ayat dimaksud sebagaimana ditunjukkan pada table berikut:
No
|
Kosa
kata
|
Nama/nomor
surat
dan
nomor ayat
|
Kelompok
ayat
|
1
|
Ahl
az-Zikr
|
An-Nahl/16:
43
|
Makkiyah
|
2
|
Mubasysyir
wa nazir
|
Al-Isra`/17:
105
|
Makkiyah
|
|
Al-Furqan/25:
57
|
Makkiyah
|
|
3
|
Ulama`
|
As-Syu’ara`/26:
197
|
Makkiyah
|
Fathir/35:
28
|
Makkiyah
|
||
4
|
Al-Muwa’iz
|
As-Syu’ara`/26:
136
|
Makkiyah
|
Luqman/31:
13
|
Makkiyah
|
||
Al-Baqarah/2:
231
|
Madaniyah
|
||
An-Nisa`/4
:63
|
Madaniyah
|
||
5
|
Uli
al-Nuha
|
Taha/20:
54, 128
|
Makkiyah
|
6
|
Mu’allim
|
Al-Baqarah/2:
31,129, 151
|
Madaniyah
|
|
Ar-Rahman/55:2,4
|
Makkiyah
|
|
7
|
Murabbi
|
Ali
Imran/3: 79
|
Madaniyah
|
8
|
Al-muzakki
|
Al-Baqarah/2:
129
|
Madaniyah
|
|
Al-Baqarah/2:
151
|
Madaniyah
|
|
|
Al-Baqarah/2:
174
|
Madaniyah
|
|
|
Al-Jumu’ah/62:
2
|
Madaniyah
|
|
9
|
Al-rasikhuna
fi al-‘ilmi
|
Ali
Imran/3: 7
|
Madaniyah
|
|
An-Nisa`/4:
162
|
Madaniyah
|
|
10
|
Ulul
albab
|
Ali
Imran/3: 190
|
Madaniyah
|
11
|
Faqih
|
At-Taubah/9:
122
|
Madaniyah
|
12
|
Da’i
|
An-Nahl/16:
125
|
Makkiyah
|
|
Yusuf/12:
108
|
Madaniyah
|
|
13
|
Uli
al-Absar
|
Al-Hasyr/59:
2
|
Madaniyah
|
Dengan memperhatikan tabel di atas, maka susunan
kosa kata yang bermakna pendidik (guru) dari yang pertama sampai yang terakhir
di dalam al-Quran adalah: ahl
al-zikr, mubassyir wa nazir, ‘ulama, al-muwaiz, uli al-nuha, mu’allim,
al-muzakki, murabbi, al-rasikhuna fi al-‘ilm, ulul albab, faqih, da’i dan uli al-absar .
Kosa kata yang secara eksplisit mengandung
makna melakukan tugas mendidik adalah mubasysyir wa nazir, muwaiz, mu’allim,
murabbi, muzakki, dan da’i.Sementara kosa kata lainnya yang mengandung makna
keunggulan atau kualitas personal atau kompetensi yang dimiliki seorang
pendidik adalah ahl al-zikr, ‘ulama, uli al-nuha, al-rasikhuna
fi al-‘ilm, ulul albab, faqih, dan ulil al-absar..
Berdasarkan penelitian terhadap ayat-ayat
yang memiliki makna yang jelas (sarīh) tentang pekerjaan mendidik adalah mubasysyir wa nazir,
al-muwa’iz, mu’allim, murabbi, muzakki, dan da’i. Jika ayat-ayat yang mengandung kosa kata tersebut
dilihat dalam konteks pendidikan, maka seorang pendidik adalah orang yang
mendidik dan mengajar orang lain untuk memanusiakan manusia (mensucikannya)
dengan menginternalisasikan nilai-nilai kepada kepribadian peserta didik
terutama nilai-nilai tauhid, akhlak, ibadah dan mengajarkan pengetahuan tentang
berbagai hal. Sehingga dengan ilmu pengetahuan seperti itu peserta didik akan terbimbing
kepada jalan Tuhan. Bimbingan tersebut dilaksanakan dengan hikmah,
mauizah dan jidal
al-ahsan.. Sementara pengetahuan yang dibimbingkan itu jika
dikelompokkan dapat berbentuk pengetahuan tentang ayat-ayat tanzili dan pengetahuan tentang ayat-ayat kauni.
2.2
Guru sebagai model panutan uswatun hasanah
Perhatikan anak-anak kita, ia selalu
memiliki kecenderungan untuk meniru. Tidak heran ketika ada tayangan TV yang
begitu menarik, dalam waktu singkat sudah bisa ditiru. Misalnya saja tayangan
film naruto, dora, spongbob, dll. anak-anak yang baru berusia dua tahun sudah
minta baju, tas sesuai dengan apa yang dilihat di TV. Mereka ingin meniru gaya
jagoan yang disukai..
Itulah memang dunia anak, dunia
bermain dan dunia meniru. Apa yang ada di sekelilingnya akan ditiru
habis-habisan. Anak-anak kita belum bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang buruk. Anak-anak kita ingin selalu menjadi bintang yang dilihat di TV.
Ketika melihat sesuatu yang ditiru
oleh anak itu positif, maka perlu terus dipompa sehingga apa yang menjadi
keinginan anak bisa tercapai. Misalnya saja si anak ingin menjadi dai cilik
sebagaimana yang diidolakan di TV. Mungkin saja anak ingin menjadi penyanyi
cilik sebagaimana Debo yang menjadi penyanyi melalui kontes idola cilik. Namun
ketika anak sudah mulai berperilaku dengan menyontoh yang negatif, maka
segeralah untuk diperbaiki.
Adi W Gunawan di dalam buku, ”Manage
Your Mind For Success” menjelaskan tentang tahap pemrograman anak-anak kita.
Fase pertama adalah usia 0-7, fase ini disebut fase tanam. Apapun yang dilihat,
yang didengar, yang dikatakan orang pada anak kita sangat mudah untuk diterima
anak. Anak belum mempunyai filter (saringan) untuk membedakan mana yang baik
dan mana yang buruk. Usia-usia ini lebih banyak menerima dan disimpan dalam
memori jangka panjang. Sepenuhnya apa yang diterima masuk ke pikiran bawah
sadar. Tahun ini sangat penting dalam pembentukan anak. Orang tua sangat
berperan, begitu juga jika di sekolah, guru TK memiliki peran yang cukup besar.
Fase kedua adalah usi 7-14 tahun
yang disebut fase model. Pada usia ini anak-anak selalu ingin meniru tokoh yang
dikagumi. Usia ini mulai memasuki pendidikan formal di SD sampai SMP atau
pendidikan dasar. Masa ini merupakan m asa-masa penting bagi anak untuk
membentuk kepribadinnya. Anak akan menjadi hebat, sukses, dan mulia jika yang
ditiru adalah hal-hal yang positif. Sebaliknya, anak bisa salah melangkah jika
apa yang dilihat dan dijadikan model itu salah, contoh-contoh negatif. Peran
guru di sekolah sangat berpengaruh.
Fase ketiga adalah usia 14-21 tahun,
yang disebut fase sosial. Pada fase ketiga ini anak-anak cenderung melakukan
interaksi sosial. Mereka lebih senang melakukan pertemanan. Fase ketiga banyak
ditentukan oleh fase pertama dan kedua. Jika fase tanam dan model yang
didapatkan melalui pengalaman itu positif, maka dalam fase sosial akan
mengalami interaksi yang positif. Sebaliknya, jika pengalaman pada fase pertama
dan kedua negatif, maka dalam interaksi sosial pun akan negatif.
Sekolah sebenarnya bisa dijadikan
satu kekuatan untuk melakukan perbaikan. Sekolah seharusnya bisa berfungsi
sebagi filter pembentuk perilaku positif bagi anak. Mungkin pada saat masa
tanam terjadi konsep yang salah pada orang tua. Maka sekolah bisa untuk
mengubahnya.
Guru sebagaimana orang tua sudah
seharusnya bisa menjadi panutan bagi anak-anak. Perilaku keseharian bisa
menjadi tauladan bagi anak-anak didik. Guru bisa menjadi figur sentral dalam
pembentukan kepribadian anak.
Jujur, saat ini banyak anak
kehilangan figur sentral. Banyak anak yang lebih cenderung untuk menjadikan
tontonan sebagai model. Bisa saja hal ini terjadi karena orang tua yang
mestinya bisa sebagai model jarang ditemui karena sibuk. Sehingga anak-anak
mencari figur lainnya. Misalnya saja model itu bisa ditemukan pada diri
pembantu, pada tokoh sinetron yang dikagumi, atau mungkin sahabatnya yang
dijadikan figur.
Di sinilah guru dituntut untuk
menjadi model. Berikan yang terbaik buat anak-anak kita. Banyak anak-anak yang
sukses karena melihat figur gurunya yang bersahaja, tegas, dan berwibawa.
Anak-anak adalah mata rantai pewaris
perjuangan dalam menegakkan nilai-nilai kebenaran. Anak-anak adalah pengawal
negeri tercinta. Dialah yang akan menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya
yang telah dibangun dengan susah payah.
Dalam proses transfering values and
knowladge guru senantiasa mengajar dan berkomunikasi. Guru tidak bisa
meninggalkan nilai-nilai dalam mendidik putra-putrinya. Sekali lagi, sebagai
agen perubahan, guru bukan hanya transfer knowledge, tetapi transfer
nilai-nilai. Hal-hal yang tidak baik segera diganti dengan nilai-nilai yang
baik.
Berbagai teori telah menyebutkan
bahwa apa yang sudah diterima anak di masa tanam akan masuk dalam memori jangka
panjang atau tersimpan pada alam bawah sadar. Namun demikian, kita tidak boleh
berputus asa, tidak boleh hawatir untuk melakukan perubahan. Masa model bisa
untuk memperbaiki kondisi yang pernah terjadi di masa tanam.
Di sinilah peran guru sebagai agen
perubahan. Guru berperan sebagi model yang bisa diteladani oleh anak-anak.
Banyak model yang dilihat oleh anak-anak di luar sekolah. Namun di sekolahlah
yang diharapkan model itu bisa ditemukan oleh anak. Sekolah setidaknya mampu
menjadi filter terhadap pengaruh yang terjadi di luar rumah.
2.3 Guru sebagai tokoh dan anggota
masyarakat
Sama
halnya dengan poin sebelumnya, dimana pada poin ini seorang pendidik atau guru juga berperan
sebagai tokoh masyarakat . Disini seorang guru dituntut untuk menjadi seorang
panutan tidak hanya di lingkungan formal seperti sekolah tapi juga dalam arti
yang lebih luas, dimana seorang pendidik harus memberikan sikap teladan yang
bisa menjadi contoh bagi masyarakat lain. Seperti yang telah di paparkan oleh An-Nahlawi dalam
poin pertama mengenai 10 pedoman pokok bagi para pendidik muslim.
2.4 Guru sebagai tenaga pendidikan yang professional
Telah disyaratkan
dalam Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen bahwa untuk dapat
memangku jabatan guru, minimal memiliki kualifikasi pendidikan D4/S1. Namun
dalam kenyataannya saat ini kualifikasi pendidikan guru di Indonesia memang
masih beragam. Dalam hal ini, Conny Semiawan (Sudarwan Danim, 2002), memilah
keberadaan tenaga guru di Indonesia ke dalam tiga jenis secara hierarkis, yaitu
:
1.
Guru
sebagai tenaga profesional, yang
berkualifikasi pendidikan sekurang-kurangnya S1 (atau yang setara), memiliki
wewenang penuh dalam perencanaan, pelaksanaan, penilaian dan pengendalian
pendidikan/ pembelajaran.
2.
Guru
sebagai tenaga semi profesional, yang berkualifikasi pendidikan D3 (atau
yang setara) yang telah berwenang mengajar secara mandiri tetapi masih harus
melakukan konsultasi dengan tenaga kependidikan yang lebih tinggi jenjang
profesionalnya, baik dalam hal perencanaan pelaksanaan, penilaian dan
pengendalian pendidikan/ pembelajaran.
3.
Guru
sebagai tenaga paraprofesional, yang berkualifikasi pendidikan tenaga
kependidikan D2 ke bawah, yang memerlukan pembinaan dalam perencanaan,
pelaksanaan, penilaian dan pengendalian/ pembelajaran.
Sementara itu, dalam praktik pembelajaran pun tampaknya masih
terjadi keragaman. Dengan mengadopsi pemikiran Prayitno (2005) tentang lima
tingkatan praktik dalam konseling, di bawah ini dijelaskan secara singkat
tentang lima tingkatan praktik pembelajaran, sebagai berikut:
1. Tingkat pembelajaran pragmatik.
Tingkat pembelajaran pragmatik yaitu
pembelajaran yang diselenggarakan guru dengan menggunakan cara-cara yang
menurut pengalaman guru pada waktu terdahulu dianggap memberikan hasil yang
optimal, meskipun cara-cara tersebut sama sekali tidak berdasarkan pada teori
tertentu.
2.Tingkat pembelajaran dogmatik
Pada tingkat pembelajaran dogmatik, praktik
pembelajaran yang dilakukan guru telah menggunakan pendekatan berdasarkan teori
tertentu, namun pendekatan tersebut dijadikan dogma untuk segenap kepentingan
proses pembelajaran siswa.
3. Tingkat pembelajaran sinkretik
Pada tingkat pembelajaran sinkretik,
pembelajaran yang diselenggarakan guru telah menggunakan sejumlah pendekatan
pembelajaran, namun penggunaan pendekatan tersebut bercampur aduk tanpa
sistematika ataupun pertimbangan yang matang. Pendekatan-pendekatan tersebut
sekedar dicomot dan diterapkan dalam kegiatan pembelajaran tanpa memperhatikan
relevansi dan ketepatannya.
4. Tingkat pembelajaran eklektik
Dalam penyelenggaraan pembelajaran
eklektik, guru telah memiliki pemahaman yang mendalam tentang berbagai
pendekatan pembelajaran dengan berbagai teknologinya, dan berusaha memilih
serta menerapkan sebagian atau satu kesatuan pendekatan beserta teknologinya
sesuai dengan permasalahan dan kebutuhan belajaran siswa. Pendeketan-pendekatan
tersebut tidak dicampur aduk, namun dipilah-pilah, masing-masing diplih secara
cermat untuk kepentingan pembelajaran siswa. Penyelenggaraan pembelajaran
eklektif tidak mengangungkan atau menjadikan suatu pendekatan pembelajaran
tertentu sebagai dogma. Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pembelajaran
eklektif, guru mengetahui kapan menggunakan atau tidak menggunakan pendekatan
pembelajaran tertentu.
5. Tingkat pembelajaran mempribadi
Tingkat pembelajaran yang mempribadi
mempunyai ciri-ciri : (1) penguasaan yang mendalam terhadap sejumlah pendekatan
pembelajaran beserta teknologinya, (2) kemampuan memilih dan menerapkan secara
tepat pendekatan berserta teknologinya untuk kepentingan pembelajaran siswa,
dan (3) pemberian warna pribadi yang khas sehingga tercipta praktik
pembelajaran yang benar-benar ilmiah, efektif, produktif, dan unik.
BAB III
KESIMPULAN
Sejalan dengan
pergeseran makna pembelajaran dari pembelajaran yang berorientasi kepada guru
(teacher oriented) ke pembelajaran yang berorientasi kepada siswa (student
oriented), maka peran guru dalam proses pembelajaran pun mengalami pergeseran,
salah satunya adalah penguatan peran guru sebagai motivator.
Guru adalah seorang
pendidik yang mulia, subjek paling
penting dalam keberlangsungan pendidikan. Sebagaimana dikutip oleh Muhammad
Munir Mursi dari Ahmad Syauqi mengatakan
bahwa pada diri guru ada kemuliaan. Hampir saja guru itu mendekati kerasulan.
Peran guru demikian
penting dan menentukan. Ia melakukan cetak biru generasi muda. Oleh karena itu,
jika guru tidak memenuhi syarat-syarat kualitas dan kuantitas yang ideal, maka
akan berakibat terhadap perkembangan intelektual, emosional, sosial dan
kinestetis peserta didik.
Terima kasih
BalasHapus